Oleh: H. Lukman Hakim, S.Pd., M.I.Kom. (Penyuluh Antikorupsi FORPAK Banten, Pendidik SMAN 6 Kab. Tangerang – Banten).
Anda tidak idiot. Sayalah yang idiot. Sebagai warga yang idiot, saya mencoba memahami apa itu Danantara, badan baru pemerintah yang oleh Presiden Prabowo Subianto disebut sebagai “kunci kemakmuran masa depan” negeri ini. Sebagai idiot, saya menelusuri bahan-bahan untuk memahami “mahluk apa gerangan Danantara ini” dan apakah klaim Presiden Prabowo itu sahih atau cuma omon-omon. Saya ingin berbagi dengan Anda keidiotan saya, dan bagi Anda yang merasa tidak idiot bisa meluruskan serta mengoreksi pemahaman saya ini:
GEGAP GEMPITA DANANTARA
Presiden Prabowo meluncurkan Danantara pada 24 Februari kemarin. “Seluruh rakyat Indonesia bisa bangga,” kata Presiden Prabowo, “bahwa hari ini kita bisa meluncurkan Danantara, salah satu sovereign wealth funds (SWF) terbesar di dunia.” Total aset yang akan dikelola Danantara senilai USD 900 miliar, atau Rp 15.000 triliun. Angka itu tidak jatuh dari langit. Itu adalah total kekayaan seluruh BUMN di Indonesia, baik dalam bentuk saham maupun aset fisik lahan dan bangunan. Itu bukan kekayaan baru. Yang membedakan adalah pengelolaannya. Jika dulu dikelola secara terpisah-pisah, kekayaan total itu kini dikelola secara terpusat lewat satu badan. Danantara dibentuk sebagai sebuah superholding, perusahaan induk yang membawahi semua BUMN yang bergabung jadi satu itu.
Ini seperti seorang ayah yang menyatukan semua kekayaan anak-anaknya untuk bisa dikelola secara bersama dan di bawah satu manajemen. Sang ayah lah yang akan menentukan mau diapakan kekayaan itu: dijaminkan ke bank untuk mendapat kredit/utang; atau dijual demi mendapat uang tunai, yang kemudian bisa dibelanjakan untuk keperluan-keperluan prioritas yang bisa menopang dan menjamin kesejahteraan keluarga secara jangka panjang.
Ketika disatukan, pemerintah berharap, kekayaan itu bisa punya leverage (daya ungkit) lebih besar. Kekayaan kecil-kecil yang terserak hanya bisa mendapat kredit/utang yang kecil. Tapi, jika disatukan, pinjaman utang yang didapat bisa sangat banyak. Setidaknya, begitulah teorinya.
Jika dulu laba BUMN disetor langsung kepada negara, laba itu kini akan masuk ke Danantara, yang kemudian diputar atau diinvestasikan ke sektor-sektor yang menguntungkan sehingga mendatangkan kekayaan lebih banyak lagi. Begitulah harapannya. Danantara dimungkinkan membeli perusahaan-perusahaan swasta, domestik maupun asing, untuk mendatangkan laba.
Lewat penggabungan BUMN, pengambilan keputusan Danantara untuk menjaminkan atau menjual aset, serta keputusan memilih perusahaan/proyek mana yang akan dibiayai, juga bisa dilakukan lebih cepat, sigap dan ringkas. Lewat UU BUMN yang sudah diperbaharui, pengambilan keputusan Danantara akan melibatkan segelintir direksi yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Tidak perlu melibatkan banyak kepala dan tak banyak diskusi. Danantara mengadopsi tradisi lazim dalam dunia militer yang cenderung otoriter dan diktatorial.
Presiden Prabowo berharap Danantara bisa menyaingi SWF (sovereign wealth funds) yang sudah ada, seperti Temasek milik Singapura atau Khazanah milik Malaysia. Presiden Prabowo mengandaikan dirinya menjadi seperti Lee Kuan Yew atau Mahathir Mohammad, ayah yang serba tahu (“father knows best”), atau diktator yang baik hati (“benevolent dictator”), yang dengan kekuasaan terpusatnya membawa kemajuan negeri. Warga negara tak perlu banyak tanya, tahunya beres. Setidaknya begitu harapannya.
Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo mengklaim bahwa gagasan dasar Danantara berasal dari ayahanda mereka, ekonom Orde Baru Soemitro Djojohadikusumo. Pada 1997, Soemitro mengusulkan pembentukan badan pengelola investasi. Modal dana untuk badan itu, kata dia, “berasal dari penyisihan 1-5% laba BUMN yang dikumpulkan dan dipusatkan sebagai dana investasi.” Keuntungan dari investasi kemudian dipakai untuk “membina koperasi dan usaha kecil.” Danantara berbeda secara mendasar dari gagasan awal Soemitro itu.
Tapi, apa sebenarnya persamaan dan perbedaan Danantara dari Temasek, Khazanah atau SWF lain yang sudah ada di dunia?
SOVEREIGN WEALTH FUNDS (SWF)
SWF sering disebut dana abadi bagi sebuah negara. Dana itu bersumber dari kelebihan uang (excess) yang kemudian diputar atau diinvestasikan, sehingga menghasilkan laba terus-menerus tanpa menggerus modal awalnya. Laba tersebut kemudian digunakan untuk membangun proyek-proyek negara yang tidak mungkin dilakukan perusahaan swasta karena punya orientasi kemaslahatan jangka panjang (bukan profit jangka pendek).
Perbedaan utama satu SWF dari SWF lain adalah dari mana modal awalnya dan bagaimana dana itu diinvestasikan. Sebagian besar (70%) SWF di dunia memperoleh modal awal dari penjualan sumber daya alam non-terbarukan (industri ekstraktif). Model ini misalnya dimanfaatkan secara cerdik oleh Norwegia. Negeri itu menyisihkan hasil penjualan minyak dan gas untuk menjadi modal awal The Government Pension Fund Global (GPFG), salah satu SWF terbesar dan paling menguntungkan di dunia.
SWF milik Norwegia itu memanfaatkan dana hasil penjualan minyak itu untuk berinvestasi dalam beragam perusahaan/proyek yang menguntungkan, terutama di luar negeri. Dengan cara itu, Norwegia memperluas dan menganekaragamkan sumber-sumber pemasukan negara sehingga tak hanya tergantung dari minyak. Norwegia sadar bahwa disamping minyak akan habis, harganya juga berfluktuasi yang bisa mengganggu penyelenggaraan ekonomi negara.
The Alaska Permanent Fund (APFC), SWF milik Negara Bagian Alaska di Amerika Serikat, juga menerapkan konsep serupa Norwegia. Alaska kaya akan minyak dan gas. Negara-negara petro-dollar di Timur Tengah juga mengambil jalan yang sama: memakai surplus penjualan minyak untuk memodali SWF seperti Mubadala (Uni Emirat Arab) dan The Public Investment Fund (Saudi Arabia).
China mengambil jalan lain dari negara-negara itu. China tidak punya sumber daya alam melimpah, tapi memiliki industri manufaktur yang kuat sehingga barang-barang buatan China sangat kompetitif dan murah. Dengan itu, China mempunyai surplus dagang yang besar dengan hampir semua negara di dunia. China memanfaatkan antara lain surplus dagang itu sebagai modal awal untuk China Investment Corporations (CIC), yang juga merupakan salah satu SWF terbesar di dunia.
Temasek dan Khazanah memakai cara lain lagi, cara yang sepertinya ditiru Indonesia. Modal awal Temasek dari dana segar yang disuntikkan pemerintah dan aset publik (BUMN) yang diserahkan oleh negara kepadanya. Malaysia menyatukan BUMN dan kemudian menerbitkan surat utang untuk menjadi modal awal Khazanah. Baik Temasek maupun Khazanah belakangan memperoleh modal baru antara lain dengan menjual aset-aset BUMN lewat privatisasi dan divestasi.
Indonesia, seperti yang berulang kali ditekankan oleh Presiden Prabowo, adalah negeri yang kaya-raya akan sumber daya alam: minyak, gas, sawit, batu bara, emas dan nikel, untuk menyebut sebagian saja. Tapi, bukannya mengikuti jejak Norwegia, misalnya, Indonesia mengambil jalan yang kurang-lebih sama dengan Temasek dan Khazanah. Pemerintahan Prabowo menyuntik dana segar (hasil menyunat APBN) untuk memodali Danantara, dan menyerahkan seluruh aset BUMN kepadanya.
Langkah Presiden Prabowo ini bahkan berbeda mendasar dari gagasan Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Bukannya menyisihkan sebagian laba BUMN, Prabowo menyerahkan sekaligus semua BUMN kepada Danantara. Berbeda pula tujuannya: bukan untuk memperkuat usaha kecil dan koperasi, tapi membiayai mega-proyek.
*Semua isi artikel dan Foto ini di tanggung seutuhnya oleh penulis*