Gemerlap Citra kemegahan, itulah yang tergambar ketika kaum awam mendengar kata Kerajaan. Kata tersebut juga menimbulkan gambaran tentang segala aturan formal kerajaan, termasuk dalam hal kecil seperti penyebutan ‘Yang Mulia’ pada keluarga kerajaan.
Tapi berbeda dengan H.R.H.Dr.(HC).Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa Wibowo dalam memahami kerajaan dan segala aturannya.
Ia adalah Pangeran Perbawah Budaya atau Pangeran Menteri Budaya Kerajaan Mempawah, Kalimantan Barat.
Dalam wawancara dengan awak media, beberapa waktu yang lalu, Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa menjelaskan, bahwa fungsi atribute Diraja adalah untuk motivasi aktualisasi nilai arif yang merupakan ajaran kerajaan/keraton
Namun katanya, terkadang juga ada yang menjadikannya untuk atribut yang sekedar memenuhi hasrat gila gelar, bahkan tak jarang mencampur aduk segala kapasitas diri untuk legitimasi gambaran diri demi kepentingan pribadi semata.
“Saya kadang geli dengan sebutan Yang Mulia (baca; YM) dan sebutan gelar kepangkatan Diraja kepada saya diluar kapasitas adat Diraja,” katanya.
“Walaupun kami telah berupaya memahami sebutan itu sebagai motivasi kami untuk berbuat mulia (positif berkemanusiaan), tetapi kadang juga sebutan itu kami pikir bisa memotivasi diri kami juga untuk arogan dan merasa paling mulia,” ungkap Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa.
Walaupun Ia tidak suka Disebut Yang Mulia tetapi Pangeran Chandrarupa sendiri memiliki banyak gelar kebangsawan yang diperolehnya dari kerajaan lain, diantaranya Kapita Lau Sidamangura dari kerajaan tiworo, Kanjeng Pangeran Ario Wira Swara dari Istana Pakualaman Yogyakarta,Rajasri Vijaya Bhoomi Ratna dari Maha Vijaya Vansam India,Principe De Sao Pedro dari Pangeran Borghese Brasil, Grand Duca Di Calabaria dari Grand Duca Dimilano, Italia serta Principe De La Soebrana Orden Militar del Deber Sagrado dari Deber Sagrado, dan masih banyak lagi gelar yang di milikinya
Menurut Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa, sebutan yang memuliakan, dengan berbagai jenis penyebutan, misalnya; YM, YAM, YTM, DYAM, DYTM dan banyak lagi itu, adalah sesuai grad trah dan jabatannya. Bermacam sebutan itu memang di nisbatkan kepada para Raja, Ratu, Sultan, Sultanah, anggota keluarga kerajaan atau ningrat dan anggota instistitusi kerajaan atau bangsawan.
“Sementara gelar kepangkatan diraja dinisbatkan kepada mereka yang merupakan anggota asli institusi kerajaan sesuai kapasitas yang terpilah,” ujarnya
” coba kita berkaca tentang Ratu inggris dan bekas Ratu Belanda Putri Beatrix, yang notabenenya ratu dan putri berdaulat itu,” bebernya.
Dalam kapasitas diluar seremonial resminya, Ratu Inggris hanya mau di sebut Her Majesty (Sebutan Yang Mulia bagi wanita di Grad Tertinggi Intitusi Kerajaan)”.
Itu hanya pada sebutan awal di sebuah percakapan selanjutnya beliau hanya berkenan di sebut ibu saja,” imbuh Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa yang juga Pangeran Kapita yang terutama Kapangeranan Chandradrupanto Patani Shri Tiworo,
Lebih lanjut Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa menjelaskan, beda lagi dengan Prinses Beatrix, Ia sebelum naik tahta bergelar Princes atau Putri.
Ketika naik tahta Ia bergelar Koningin/ Ratu dan ketika ia mundur dari tahta dan menyerahkan tahta kepada anaknya (Koning/ Raja Wilem – Alexander), dirinya menggunakan gelar Putri kembali.
Artinya Beatrix tidak dengan arogan berupaya mengkondisikan untuk mempertahan kan gelar ratunya, atau mungkin menciptakan gelar baru agar tidak turun gelaran.
“Ratu Inggris ada putri Belanda/ mantan Ratu Belanda saja (yang notabenenya ratu dan putri “berdaulat” yang tentu memiliki puluhan “koleksi” gelar dari berbagai daerah), mau dengan pikiran cerdas dan rendah hati memilah kapasitas penggunaan gelaran, apalagi cuma saya tuturnya.
”Kita kita cuma adat yang berfungsi untuk menjaga nilai dan budaya arif?.
Apakah kita mau sibuk sama gelaran dan melupakan essensi fungsi gelaran dan nilai filosophia gelaran itu sendiri,” jelasnya
Secara mendetail Pria yang akrab di sapa Pangeran Chandrarupa ini memaparkan, Gelaran adalah suatu bentuk motivasi/ appresiasi bagi penyandang gelaran untuk dan/ atau atas aktualisasi nilai arif dimakna pada gelarannya
Contohnya gelar Pangeran yang berasal dari suku kata Pang dan Ingiran yang artinya peneduh dan bermakna pengayoman, katanya lagi
“Contoh bentuk aktulisasi sifat pengayoman adalah jika terjadi perselisihan antar pribadi/ kelompok masyarakat, maka penyandang gelaran itu pro aktif mengaktualisasika nilai gelaranya, dengan menjadi penengah yang objektif,”tambah pria yang juga Anggota Assosiasi Keluarga Kerajaan dan Bangsawan Internasional, itu.
“Masih banyak gelaran adat lain dari berbagai daerah yang bermakna dan itu adalah nilai arif diraja. Hal ini merupakan indikasi kerajaan/ keraton menekankan penting sifat arif,”jelasnya
>red