Sejarah dan Perkembangan Industri Otomotif di Indonesia

Avatar photo
Ilustrasi/Liputan 6

BantenNet, SEJARAH – Dinamika historis industri otomotif Indonesia sudah dimulai hampir seabad yang lalu pada 1927. General Motors mendirikan pabrikan-pabrikan di Tanjung Priok pada 1927, yang kedua di Asia setelah Yokohama dan General Motor memilih Jakarta karena Singapura karena insentif kebijakan.

Seperempat abad pada tahun 1953, DR Hasyim Ning kemudian membangun pabrik perakitan kedua PT Indonesia Service Company dan menjadi distributor pelbagai mobil mulai dari Ford dan Fiat, sehingga dikenal sebagai Raja Mobil Indonesia yang terus menguasai pasar domestik hingga awal 1970an. Nah, pada tahun 1969, William Soeryadjaja pendiri Astra (1957) membeli mantan pabrik General Motors 1927 dari status BUMN PN Gaya Motor menjadi bagian dari imperium otomotif Astra yang menggantikan Hasyim Ning sebagai Raja Mobil Indonesia hingga 1991.

Namun secara tragis kehilangan seluruh sahamnya karena krisis Bank Summa, menyebabkan keluarga Soeryadjaya kehilangan kepemilikan atas Astra setelah krisis moneter 1998, menjadi perusahaan terbuka yang menjadi mayoritas di kelompok Jardine Hongkong.

Menjelang terbentuknya WTO, pada tahun 1996 kebijakan Mobil Nasional Presiden Soeharto sebenarnya merupakan kebijakan tepat. Namun aplikasinya berbasis nepotisme dan timingnya berbenturan dengan krismon 1997-1998 sehingga kegagalan total. Proteksi yang tidak efisien dan gagal meniru Korea dan berulang-ulang kegagalan Proton Malaysia.

Di seluruh dunia industri otomotif mengalami konsolidasi sehingga AS hanya memiliki dua merek “nasional” General Motors dan Ford, sedangkan Chrysler sudah berpatungan dengan Fiat yang masih bertahan mewakili Italia dalam produsen mobil global. Jerman punya tiga merek Mercedes BMW dan Volkswagen.

BUMN Prancis punya Citroen Renault dan swasta punya Peugeot. Hanya Jepang yang masih bertahan dengan delapan merek seperti Toyota, Nissan (mitra dengan Renault), Honda, Mazda, Mitsubishi, Isuzu, Suzuki, Subaru. Diluar 16 merek global itu, maka hanya Korea yang mampu menembus industri mobil global dengan merk Hyundai dan KIA (sudah dimerger jadi satu).

Mobnas Indonesia ingin melacak Korea dengan KIA dan Malaysia yang meluncurkan Proton berbasis Mitsubishi. Sementara Tiongkok baru agresif mengembangkan merek lokalnya, justru setelah liberalisasi masuknya semua produsen global membangun pabrik dan merek global di tanah Tiongkok.

Dalam siklus seabad industri otomotif Indonesia, terjadi keunikan sejarah bahwa General Motors berpatungan dengan SAIC Tiongkok untuk membuka pabrik Wuling di Bekasi. Hal ini seolah mengingatkan kita kepada fenomena 1927, ketika General Motors memilih Tanjung Priok sebagai lokasi perakitan mobil General Motors kedua di Asia setelah Jepang.

Jika pemerintah mencanangkan hal di atas, maka Indonesia harus sukses berintegrasi dengan arus besar rantai pasokan global industri otomotif. Jika semua pihak terkai mau sungguh-sungguh belajar dari riwayat jatuh bangun imperium otomotif Indonesia karena ayunan kebijakan pendulum, Indonesia akan merayakan seabad industri otomotif Indonesia pada 2027 sebagai andalan ekonomi Nasional, dengan atau tanpa merek lokal, tetapi mampu menjadi bagian global supply chain otomotif global.